Murtad

25.1. Definisi murtad
25.2. lmplikasi murtad

Murtad, Riddah & Irtidad

MURTAD merupakan jenayah yang dapat menghapuskan semua amal soleh sebelumnya dan di akhirat nanti akan menjadi ahli neraka buat selama-lama apabila seseorang itu mati dalam keadaan murtad. Ini jelas apabila Allah s.w.t  berfirman dengan maksudnya:

“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad), mengenai (hukum) berperang dalam bulan yang dihormati; katakanlah: “Peperangan dalam bulan itu adalah berdosa besar, tetapi perbuatan menghalangi (orang-orang Islam) dari jalan Allah, dan perbuatan kufur kepadaNya, dan juga perbuatan menyekat (orang-orang Islam) ke Masjid Al-Haram (di Mekah), serta mengusir penduduknya dari situ, (semuanya itu) lebih besar lagi dosanya di sisi Allah. Dan (ingatlah) angkara fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan (semasa perang dalam bulan yang dihormati). Dan mereka (orang-orang kafir itu) sentiasa memerangi kamu hingga mereka dapat memalingkan kamu dari agama kamu kalau mereka sanggup (melakukan yang demikian); dan sesiapa yang murtad (berpaling tadah) di antara kamu dari ugamanya (ugama Islam), lalu ia mati sedang ia tetap kafir, maka orang yang demikian, rosak binasalah amal usahanya (yang baik) di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya (selama-lamanya).” (al-Baqarah: 217)

Hukuman asal bagi kesalahan murtad ialah bunuh. Ini berdasarkan hadis:

“Barang siapa menukar agamanya, maka bunuhlah dia.”

Kaedah dalam melaksanakan hukuman ini ialah seseorang itu tidak dibunuh sebelum diminta bertaubat terlebih dahulu. Apabila ia bertaubat, hukuman alternatif dikenankan termasuk merotan, penjara atau denda (Paizah Haji Ismail 1996: 247).

Artikel ini menganalisis pengertian murtad dari sudut bahasa dan istilah, hubungannya dengan kekufuran dan kebebasan beragama dalam Islam.

Pengertian Murtad

Perkataan murtad berasal daripada bahasa Arab, iaitu “riddah” atau “irtidad”. Dari sudut bahasa, riddah bermaksud “kembali daripada sesuatu kepada selainnya.” (al-ruju’ ‘an al-shay’ ila ghayri-h). Secara istilah riddah bererti “kembali daripada Islam kepada kufur sama ada dengan niat, atau dengan perbuatan kufur atau dengan perkataan sama ada dalam bentuk penghinaan, penderhakaan atau iktikad (al-Zuhayli, 6: 183). Dalam bahasa Melayu, Kamus Dewan (2005: 1330) mendefinisikan “riddah” sebagai “perbuatan keluar daripada agama Islam, sama ada melalui perbuatan, perkataan, atau niat.” Begitu juga dengan kata “irtidad” dalam bahasa Arab yang mempunyai maksud yang sama, iaitu “kembali” (al-ruju’) (al-Razi, Mukhtar al-Sihhah, 239). Ia berasal daripada kata kerja irtadda, bemaksud “kembali ia, mundur ia, murtad ia.” (Kamus al-Marbawi, 232-33). Perkataan irtidad masih tidak tersenarai dalam sebagai bahasa Melayu dalam Kamus Dewan.

Perkataan murtad dalam bahasa Melayu sebenarnya berasal daripada kata murtaddun. Kata-kata “murtaddun ‘an dini-h” bermaksud “ia kembali dari agamanya.” Murtad merujuk kepada “orang yang kembali daripada Islam kepada kufur.” Kamus Dewan (2005: 1058) mendefinisikan murtad sebagai “orang yang keluar daripada agama Islam, sama ada melalui perbuatan, perkataan, atau niat.” Selain itu terdapat kata kerja “memurtadkan” dalam bahasa Melayu, bermaksud “menjadikan seseorang murtad.” Seterusnya kata terbitan “kemurtadan,” bermaksud “perihal murtad.”

Al-Zuhayli dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatu-h memberi beberapa contoh bentuk-bentuk murtad, antaranya sesiapa yang mengengkari kewujudan Pencipta, menafikan dan mendustakan para rasul menghalalkan perkara haram secara ijmak seperti menghalalkan zina, liwat, minuman keras dan kezaliman, atau mengharamkan perkara halal secara ijmak seperti mengharamkan jual beli dan nikah, atau menafikan kewajipan yang sudah disepakati seperti menafikan rakaat dalam solat-solat fardu, atau percaya wajib perkara yang bukan wajib secara ijmak seperti menambah rakaat dalam solat-solat fardu atau wajib puasa dalam bulan Syawal, bercita-cita untuk menjadi kafir atau sentiasa mengulangi untuk menjadi kafir. Termasuk juga dalam kategori murtad ialah perbuatan kufur seperti meletakkan al-Quran dan kitab hadis nabi atas najis dan sujud menyembah berhala dan matahari (al-Zuhayli 1985: 6: 183-84).

Hubungan Murtad dengan Kekufuran atau Kufr

Murtad membawa kepada seseorang menjadi kafir, kufur (kufr), iaitu terkeluar daripada Islam. Menurut syariah, implikasi menjadi kafir ialah di akhirat nanti ia kekal dalam neraka setelah mati, dan ketika di dunia tiada qisas untuk pembunuhannya, tidak berhak menikah wanita Muslimah, tiada perlindungan terhadap jiwa dan harta, dengan darah dan hartanya boleh dirampas.

Imam al-Ghazali (m. 505/1111) menyedari bahawa isu menjadi kafir begitu rumit dan sentisif dan timbul pula pendapat yang berlebihan dan ekstrem dalamnya, seperti isu kafir mengkafir sesama Islam dan menuduh semua kelompok lain sebagai kafir melainkan kelompok sendiri ia berada. Pada pandangan al-Ghazali asas dan dasar sebelum gelaran kafir dikenakan sangat penting untuk diletakkan. Menurut al-Ghazali dasar yang benar ialah bahawa setiap orang yang mendustakan Rasulullah s.a.w adalah menjadi kafir. Hanya dengan berpandukan kepada dasar ini penetapan gelaran kafir dapat dibuat tanpa ada campuran dengan sikap ekstrem dan berlebihan.

Sebab Terjadinya Murtad

Menurut umumnya para ulama, setidaknya ada tiga cara seseorang untuk bisa jadi murtad, yaitu terkait dengan keyakinan tertentu di dalam hati, atau tindakan nyata tertentu dalam bentuk perbuatan, atau ucapan tertentu secara lisan.

Para ulama umumnya membuat batas-batas yang bisa dijadikan patokan untuk diperhatikan, antara lain ;

1. Murtad Terkait Dengan Keyakinan

Di antara bentuk kemurtadan secara keyakinan misalnya mengingkari sifat Allah, atau menolak kebenaran Al-Quran, atau mengingkari kenabian Muhammad SAW.

a. Mengingkari Sifat Allah

Para ulama sepakat bahwa siapa saja dari umat Islam yang meyakini bahwa tuhan itu tidak ada alias atheis, dia telah murtad dari agama Islam.

Demikian juga bila mengingkari satu dari sifat-sifat Allah yang jelas, tegas, dan tsabit, maka dia telah murtad keluar dari agama Islam, seperti menyatakan Allah punya anak, istri dan sebagainya.

Termasuk bila seseorang mengatakan bahwa Allah itu tidak abadi, atau sebaliknya malah mengatakan alam ini kekal abadi, maka dia telah murtad.

b. Mengingkari Kebenaran Al-Quran

Orang yang menolak kebenaran Al-Quran, bahwa kitab itu turun dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, turun dengan tawatur, melalui Jibril alaihissalam, dengan bahasa Arab, serta menjadi mukjizat buat Rasulullah SAW, dan dengan itu Allah menantang orang Arab untuk membuat yang setara, maka dia sudah murtad.

Termasuk di dalamnya kategori murtad adalah orang yang menolak kebenaran satu ayat dari ribuan ayat Quran, kecuali bila ayat itu memang multi tafsir atau sudah dinasakh hukumnya.

c. Mengingkari Kenabian Muhammad SAW

Menolak kenabian Muhammad SAW termasuk keyakinan yang sesat dan mengakibatkan murtad dari agama Islam. Sebab dasar agama Islam itu diletakkan pada keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi yang menjadi utusan Allah secara resmi.

Maka mengingkari kenabian beliau SAW sama saja menngingkari keberadaan agama Islam. Berarti orang yang mengingkarinya telah ingkar atau kafir dari agama Islam.

2. Murtad Terkait Dengan Perkataan

Selain dengan jalan penyimpangan keyakinan, kemurtadan itu bisa terjadi akibat ucapan atau lafadz secara lisan, yaitu apabila seseorang mengucapkan sab (سبّ). Selain itu murtad juga bisa terjadi ketika seseorang melontarkan tuduhan kafir (takfir) kepada seorang muslim tanpa hak.

a. Sab

Istilah sab (سبّ) sering diartikan sebagai penghinaan atau kalimat yang merendahkan, menjelekkan, mencaci, melaknat, menghina.

  • Menghina Allah

Para ulama telah mencapai kata sepakat bahwa orang yang menghina Allah SWT, atau mencaci, memaki, menjelekkan-Nya sebagai orang yang murtad dan keluar dari agama Islam. Walaupun hal itu hanya sekedar candaan, atau main-main belaka. [1]

Dasarnya adalah firman Allah SWT di dalam Al-Quran :

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS. At-Taubah : 65-66)

  • Menghina Rasulullah

Demikian juga para ulama sepakat tanpa ada perbedaan pendapat, bahwa orang yang menghina Rasulullah SAW telah murtad. Termasuk ke dalam penghinaan ketika seseorang menghina kekurangan baik pada diri beliau SAW, atau nasab dan agama. Termasuk juga melaknat Nabi SAW, mengejeknya, menuduhnya dengan tuduhan palsu.

  • Menghina Para Nabi

Di antara para nabi dan rasul yang jumlahnya mencaiap 124 ribu orang itu, sebagiannya ada yang sudah jelas identitasnya dan kita mengenalnya dengan baik. Kedudukan mereka menurut para ulama sama dan sederajat dengan Rasulullah SAW. Maka menghina atau menjelekkanpara nabi dan rasul, sama dengan dengan menghina Rasulullah SAW, maka perbuatan seperti itu termasuk juga hal-hal yang berakibat pada kemurtadan.

Sedangkan menghina orang-ornag yang belum masih jadi perbedaan pendapat ulama tentang status kenabiannya, meski tidak termasuk perbuatan murtad, namun menghinanya tetap saja bisa dihukum, walaupun bukan hukuman mati.

  • Menghina Istri-istri Nabi

Para ulama telah sepakat bahwa menghina istri Nabi Muhammad SAW, khususnya Asiyah radhiyallahuanha termasuk perbuatan murtad. Pelakunya bisa divonis kafir dan halal darahnya dengan dasar yang hak. Sebab pelakunya berhadapan dengan ayat Al-Quran yang sharih tentang kesuciannya di dalam surat

يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَن تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. An-nuur : 17)

Sedangkan istri-istri Rasulullah SAW selain Aisyah, apakah kedudukannya sama, dalam arti kalau ada yang menghinanya bisa divonis kafir dan halal darahnya?

Pada ulama agak berbeda dalam hal ini. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah menyamakan antara semua istri Rasulullah SAW dengan Aisyah dalam kemuliaan dan kedudukannya. Maka orang yang menghina salah satu istri beliau SAW, bisa divanis murtad dan halal darahnya.

Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa kedudukan para istri nabi SAW yang lain selain Aisyah sama dengan para shahabat nabi yang lain. Yang menghina mereka tentu dihukum tetapi bukan divonis kafir dan murtad, serta tidak dihukum mati.

b. Takfir

Para ulama sepakat bahwa salah satu penyebab kemurtadan adalah ketika seorang muslim menuduh saudaranya yang muslim sebagai kafir tanpa bisa mempertahankan tuduhannya secara legal di majelis mahkamah syar’iyah. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

أَيُّماَ امْرِئٍ قَالَ لأَِخِيْهِ: ياَ كَافِر فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كاَنَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Siapa pun orang yang menyapa saudaranya yang muslim, ‘wahai kafir’, maka dia akan mendapat salah satu dari kedunyanya, yaitu benar tuduhannya atau tuduhannya kembali kepadanya. (HR. Muslim)

مَنْ دَعَا رَجُلاً بِاْلكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

Orang yang menyapa seorang muslim dengan kafir atau memanggilnya dengan sebutan ‘musuh Allah’, padahal tidak benar, maka tuduhan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri. (HR. Muslim)

Dari kedua hadits di atas bisa disimpulkan bahwa menuduh seorang muslim sebagai kafir atau musuh Allah, akan beresiko besar. Sebab tuduhan itu harus bisa dibuktikannya di mahakamah syar’iyah. Bila tuduhannya benar, maka penuduhnya selamat. Namun bila tidak bisa dibuktikannya, maka dirinya sendirilah yang beresiko menerima vonis kafir atau murtad.

Kurang lebih ada kemiripan dengan tuduhan zina (qadzaf), dimana penuduhnya justru diancam dengan 80 cambukan apabila tidak bisa membuktikannya di mahkamaha syar’iyah.

3. Murtad Terkait Dengan Perbuatan

Di antara contoh bentuk murtad dengan perbuatan misalnya membuang mushaf ke tempat sampah, bersujud kepada berhala, meninggalkan shalat fardhu atau zakat sambil mengingkari kewajibannya.

a. Membuang Mushaf ke Tempat Sampah

Orang yang membuang mushaf Al-Quran dengan sengaja dan diniatkan untuk menghinanya, hukumnya murtad dari agama Islam, karena termasuk melakukan penghinaan kepada agama.

Sedangkan bila karena ketidak-sengajaan, ada tulisan yang merupakan ayat Quran tetapi terbuang ke tempat sampah, hukumnya tidak murtad. Karena tidak dilakukan dengan sengaja dan tidak diniatkan untuk menghina Al-Quran.

Untuk itu apabila ada sobekan kertas yang tidak berguna, namun terdapat potongan ayat Al-Quran, sebaiknya dibakar saja. Dasarnya adalah ketika khalifah Utsman bin Affan radhiyallahuanhu melaksanakan proses penulisan ulang khat Quran, mushaf-mushaf yang pernah ditulis oleh shahabat sebelumnya dikumpulkan lalu dibakar. Sehingga yang tersisa hanya mushaf yang sudah menjadi standar penulisan yang resmi.

b. Sujud Kepada Berhala

Seorang muslim yang bersujud kepada berhala dengan sengaja dan berniat untuk mengagungkan atau menyembahnya, maka dia telah murtad dari agama Islam. Yang termasuk berhala bukan hanya patung, tetapi juga matahari, bulan atau bintang di langit.

c. Meninggalkan Shalat Fardhu

Seorang muslim yang secara sengaja meninggalkan shalat fardhu lima waktu, dengan disertai keyakinan bahwa shalat itu tidak wajib atasnya, maka dia termasuk orang yang murtad dari agama Islam.

Dalam istilah fiqih, orang yang mengingkari kewajiban shalat fardhu lima waktu disebut jahidus-shalah (جاحد الصلاة).

d. Mengingkari Kewajban Zakat

Demikian juga seorang muslim yang menolak membayar zakat, seraya mengingkari kewajiban zakat di dalam syariat Islam.

Demikian beberapa petikan singkat terkait dengan jawaban dari pertanyaan anda. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 8 hal. 565

[2] Asy-Syamil, jilid 2 hal. 171

[3] Al-Qalyubi, jilid 4 hal. 175

[4] Hasyiatu Ibnu Abdin, jilid 4 hal. 237

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *